Sabtu, 18 Oktober 2008

FENOMENA ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DI DESA TANGKISAN KECAMATAN MREBET KABUPATEN PURBALINGGA

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
DI DESA TANGKISAN KECAMATAN MREBET KABUPATEN PURBALINGGA

I. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan lambang yang arbriter (mana suka), tetapi konvensional. Sehingga pada praktiknya, manusia dalam menggunakan bahasa selalu menyesuaikan diri sesuai dengan situasi yang ada. Situasi tersebut dapat berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Oleh karena itulah, dalam setiap komunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain selalu terjadi peristiwa pergantian bahasa yang disebut dengan alih kode dan pencampuran bahasa yang disebut dengan campur kode.
Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis pergantian bahasa (alih kode) dan pencampuran bahasa (campur kode) yang terjadi di lingkungan sekitar penulis, tepatnya di Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Alasan penulis mengambil contoh alih kode dan campur kode yang terjadi dalam masyarakat sekitar penulis karena alih kode dan campur kode tersebut akrab dengan penulis dan menarik untuk diteliti. Hal yang menarik dari alih kode dan campur kode yang terjadi di lingkungan penulis adalah beragamnya bahasa dan situasi yang mereka gunakan sehingga pada perkembangannya alih kode dan campur kode tersebut akan mempunyai keunikan tersendiri yang mungkin tidak kita dapatkan di daerah lain.

II. PEMBAHASAN
A. Alih Kode
Menurut Appel (1976: 79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 107), alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Perubahan situasi tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan.
Oleh karena itulah, fishman (1976: 15) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 108) mengatakan bahwa seorang pemakai bahasa itu harus memperhatikan situasi tutur yang berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Di bawah ini penulis akan mencontohkan beberapa percakapan yang terjadi dalam masyarakat di lingkungan sekitar penulis.
1. Alih Kode karena Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
Contohnya:
Latar belakang : kantor kecamatan Mrebet
Para pembicara : petugas pembuat KTP dan KK, Bapak Nanang (salah seorang yang ingin membuat KTP dan KK), Nafi’ dan Umi (orang yang sedang mengantri untuk membuat KTP dan KK).
Topik : syarat membuat KTP
Sebab alih kode : tidak ingin bahasa yang diucapkan diketahui maksudnya oleh orang lain.
Peristiwa tutur :
Petugas pembuat KTP dan KK : Pak, niki datane putra Bapak nopo nggih? Damel KTP-ne tahun 2009 mawon, niki umure kirang setahun.
(Pak, apa ini data putra Bapak? Membuat KTPnya tahun 2009 saja, ini umurnya kurang satu tahun).
Bapak Nanang : Nggih sampun (ya sudah).
Petugas pembuat KTP dan KK : Damel KTP-ne kangge keperluan nopo? (Membuat KTP untuk keperluan apa?)
Bapak Nanang : Nggih….sekalian damel supados mboten wira-wiri teng mriki (ya….sekalian buat supaya tidak bolak-balik ke sini).
Mendengar percakapan tersebut, Nafi’ dan Umi yang sedang mengantri untuk membuat KTP berkomentar, tetapi dengan menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak tahu dengan apa yang dibicarakan oleh keduanya.
Nafi’ : Um….it’s too early to make KTP
(Um….itu terlalu cepat untuk membuat KTP).
Umi : Maybe, his child wants to get married
(mungkin anaknya akan menikah).
Nafi’ : Doesn’t he know that making KTP someone’s age is about 17 years old?
(apakah bapak itu tidak tahu bahwa untuk membuat KTP umur seseorang kira-kira harus 17 tahun?)
Umi : I don’t know (saya tidak tahu).
Nafi’ : Luckily, the officer is very careful.
(untungnya, petugas itu sangat cermat)
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita ketahui bahwa alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi tersebut dimaksudkan supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak mengetahui kalau mereka sedang dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi sehingga mereka tidak tersinggung. Akan tetapi, jika Nafi’ dan Umi tidak menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris, mungkin petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang akan tersinggung karena mereka merasa dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi. Oleh karena itu, alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi adalah untuk memperoleh “keuntungan” atau “manfaat”.


2. Alih Kode karena Pendengar atau Lawan Tutur
Pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Hal ini terjadi karena si penutur ingin menghormati lawan tuturnya. Dalam hal ini lawan tutur merupakan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati oleh si penutur.
Misalnya:
Latar belakang : depan TV di rumah eyang.
Para pembicara : Nilna, Nana, dan eyang.
Topik : acara TV yang berjudul “Marimar”
Sebab alih kode : menghormati orang yang lebih tua (eyang)
Peristiwa tutur :
Nilna : donge Sergio teli aja mabok-mabokan Angger mabok-mabokan kan dadine ora sadar. Masa, Inosensia diambung ndarani Marimar? (seharusnya Sergio tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk-mabukan kan menjadi tidak sadar. Inosensia dicium karena disangka Marimar).
Nilna : lah….kuwe kan wis diatur neng sutradarane. Nggo ngapa pusing-pusing! (itu kan sudah diatur oleh sutradaranya. Untuk apa pusing-pusing!).
Nilna : wadeh, deh ! ya wis lah……..mengko manden rampunge bahagia (sebel, deh ! ya sudah lah…..nanti juga pasti berakhir dengan bahagia).
Eyang : ana apa sih, berisik banget? (ada apa sih, kok berisik?)
Nilna : niki yang, film Marimar (ini nek, film Marimar)
Eyang : film Indonesia apa?
Nana : sanes yang, niki film Filipina (bukan nek, ini film Filipina).
Eyang : deneng rame temen? (kok ramai banget?)
Nana : Nggih yang, ceritane sae sanget! (iya nek, ceritanya bagus sekali).


Berdasarkan ilustrasi di atas, Nilna dan Nana beralih kode menggunakan bahasa kromo karena menghormati orang yang lebih tua (neneknya). Jika mereka tetap menggunakan bahasa ngoko, pasti mereka akan dicap sebagai anak yang tidak bisa menghormati orang yang lebih tua.
3. Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak tahu bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya:
Latar belakang : ruang tamu
Para pembicara : Umi dan Niam yang sejak kecil hidup di wilayah karesidenan Banyumas, dan Susmiati yang sejak kecil hidup di Jakarta sehingga dia tidak dapat berbahasa Jawa Banyumasan.
Topik : Objek wisata Ancol
Sebab alih kode : hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang tidak bisa berbahasa Jawa Banyumasan karena sejak kecil hidup di Jakarta.
Peristiwa tutur :
Umi : Am, Ancol apik banget ya! (Am, Ancol bagus sekali ya!)
Ko wis tau maring nganah urung? (kamu sudah pernah ke sana belum?
Niam : urung (belum).
Apa ko wis pernah maring nganah? (apa kamu sudah pernah ke sana?)
Umi : Urung sih, aku cuma weruh neng TV karo diceritani Susmiati (belum sih, aku hanya melihat di TV dan mendapat cerita dari Susmiati).
Niam : aku dadine ya, pengin diceritani (aku juga ingin mendapat cerita itu).
Umi : La kae, Susmiati (Itu Susmiati)
Niam : Hai, Sus. Mau kemana? Aku minta diceritain tentang Ancol dong?
Susmiati : iya beres. Tapi kapan-kapan saja yah! Soalnya aku lagi ada keperluan nich.
Niam : oke deh.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa alih kode terjadi pada saat hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang memang sejak kecil sudah hidup di Jakarta sehingga dia tidak bisa bahasa Jawa Banyumasan. Jika Umi dan Niam tidak beralih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia, mungkin komunikasi dengan Susmiati tidak akan berjalan lancar karena dia tidak paham dengan bahasa yang digunakan oleh Umi dan Niam.
4. Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya.
Contoh:
Latar belakang : rumah ketua RT 02/01 desa Tangkisan.
Para pembicara : Hasbi (Ketua Ikatan Remaja), Kusniah (Sekretaris Ikatan Remaja), Ahmad, Dedi, dan Dina (Bendahara Ikatan Remaja).
Topik : rapat penyelenggaraan pengajian halal bihalal.
Sebab alih kode : hal-hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang serius.
Peristiwa tutur :
Sebelum pengurus ikatan remaja yang lain datang, Kusniah dan Hasbi bercakap-cakap mengenai masalah pribadi dengan ragam informal.
Kusniah : Bi, jere ko seneng karo batir sekolahe ko ya?
(Bi, katanya kamu naksir teman sekolahmu ya?)
Hasbi : Jere sapa? (kata siapa?)
Kusniah : ya pokoke.
Setelah pembicaraan itu, datang Ahmad, Dedi, dan Dina. Pembicaraan antara Kusniah dan Hasbi pun berhenti dan berganti ke ragam formal.


Hasbi : wah….teman-teman sudah datang, ayo kita mulai diskusinya.
Ahmad : ngomong-ngomong, sebentar lagi kan lebaran, kita seharusnya memfasilitasi para pemuda untuk bersilaturrahim supaya terjalin suasana kekeluargaan.
Dedi : betul, saya setuju. Bagaimana kalau kita mengadakan pengajian halal bihalal saja?
Kusniah : itu ide bagus. Aku setuju sekali.
Hasbi : tapi dari mana kita memperoleh dananya?
Dina : mudah saja, kita bisa menarik iuran dari semua warga.
Hasbi : betul, aku setuju. Kapan kita mulai beraksi?
Kusniah : besok saja kita mulai menyusun proposal kegiatannya. Semakin cepat semakin baik.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa sebelum diskusi dimulai, situasinya adalah tidak formal; tetapi begitu diskusi dimulai situasi berubah menjadi formal, maka terjadilah peralihan kode yang awalnya dari bahasa ngoko Banyumasan lalu berubah menjadi bahasa Indonesia ragam formal.
5. Perubahan Topik Pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat kita lihat pula pada contoh nomor 4. Dari ilustrasi contoh nomor 4 di atas, dapat kita lihat ketika topiknya tentang masalah pribadi, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Jawa Banyumasan. Tetapi ketika topiknya bergeser pada diskusi tentang rencana penyelenggaraan pengajian halal bihalal, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia.
B. Campur Kode
Bahasa dikatakan telah tercampur dengan kode lain apabila dalam peristiwa tutur itu hanya terdapat serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114). Sehubungan dengan hal tersebut, Thelander (1976: 103) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) juga menjelaskan bahwa campur kode terjadi apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa mapun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tiada lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri.
Selain itu, Fasold (1984) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) berpendapat bahwa seseorang dikatakan telah melakukan campur kode jika dia menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa. Perhatikan contoh di bawah ini.
Di sebuah ruang tamu, tepatnya di depan TV ada Tito (yang sejak SMA sampai kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris) dan Andi melakukan sebuah percakapan. Mereka berdebat masalah keterlambatan mengerjakan tugas.
Tito : donge ko angger ngerjakna tugas li aja mepet-mepet supaya hasile ya apik. Jere kepengin dadi ‘a good writer’.
(seharusnya kamu kalau mengerjakan tugas itu tidak mendadak supaya hasilnya juga bagus. Katanya kamu ingin menjadi ‘a good writer’).
Andi : Iya sih, tapi kepriwe maning. Idene nembe muncul angger lagi kepepet.
(iya sih, tapi bagaimana lagi. Ide baru muncul kalau lagi terjepit).
Tito : iya, tapi diusahakna lah…
Angger ko pusing kan aku dadi kena batune juga
(iya, tapi diusahakanlah……kalau kamu pusing kan aku jadi terkena imbasnya juga).
Berdasarkan percakapan di atas, tampak bahwa Tito telah melakukan campur kode yang terlihat pada frase ‘a good writer’. Campur kode di atas dilakukan oleh Tito karena dia sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris sehingga secara sadar maupun tidak sadar, bahasa Inggris itu akan selalu terbawa ke dalam bahasa yang dia pakai.



III. SIMPULAN
Alih kode dan campur kode pada dasarnya sama-sama merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual. Alih kode terjadi karena adanya pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Alih kode selalu digunakan oleh seseorang berdasarkan situasi tutur “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Sedangkan campur kode terjadi karena seseorang memakai satu kata atau satu frase dari satu bahasa. Campur kode biasanya digunakan karena kebiasaan si penutur dalam memakai bahasa tertentu yang secara sadar maupun tidak sadar akan masuk ke dalam bahasa yang dia pakai.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosioliinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Wacana Iklan "Philips" Kajian Kohesi Tekstual dan Kontekstual

WACANA IKLAN PHILIPS

KAJIAN KOHESI TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

I. PENDAHULUAN

Sebagai salah satu model wacana, iklan merupakan sebuah model komunikasi yang khas, karena dengan kekhasannya tersebut membedakannya dengan bentuk komunikasi wacana tulis atau lisan yang lain. menurut Alfin Toffler (1987: 152) dalam Sumarlam dkk (2004: 1), salah satu kekhasan yang paling menonjol dari iklan adalah mencoba mengkomunikasikan citra secara maksimum dalam waktu yang minimum, sehingga dapat mencapai sasaran dan tetap menjamin keuntungan perusahaan.

Iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda yang berorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap, dan keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yaitu makna yang dikemukakan secara eksplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik permukaan tampilan iklan (Noviani, 2002: 79) dalam Sumarlam dkk (2004: 1).

Di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai analisis wacana terhadap iklan lampu Philips yang dimuat di Kompas, Selasa, 23 September 2008. Analisis wacana ini mengkaji wacana iklan lampu Philips dari segi kekohesian tekstual dan kontekstual. Alasan pemilihan iklan ini karena Philips merupakan salah satu produsen lampu yang menjadi pioneer dan keunggulan produknya pun sudah tidak diragukan lagi.

II. ANALISIS

A. Analisis Kohesi Tekstual

Kohesi adalah hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalam teks dan unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasi teks, pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik (Moeliono, 1989: 343) dalam Sumarlam dkk (2005: 173). Hubungan kohesif sering ditandai dengan pemarkah gramatikal (kohesi gramatikal) maupun pemarkah leksikal (kohesi leksikal).

1. Analisis Kohesi Gramatikal

Analisis kohesi gramatikal merupakan analisis dari segi bentuk atau struktur lahir wacana. Analisis wacana iklan lampu Philips dari aspek gramatikal atau kohesi gramatikal meliputi pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi).

a. Pelesapan (elipsis)

Pelesapan (elipsis) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Pada wacana iklan Philips ditemukan penghilangan kata Philips Tornado sehingga menimbulkan efek pelesapan dua kata. Pelesapan ini digunakan untuk memadatkan kata atau mempersingkat kata supaya susunan kalimat menjadi singkat, padat, dan menarik. Perhatian pada contoh di bawah ini:

1) Philips Tornado lebih terang 20% dari lampu hemat energi biasa.

ü Cahaya Philips Tornado lebih terang 20% dari lampu hemat energi biasa.

2) Anda kini bebas menciptakan suasana penuh inspirasi di rumah.

ü Dengan Philips Tornado, Anda kini bebas menciptakan suasana penuh inspirasi di rumah.

3) Karena ukuran 40% lebih kecil, maka lebih pas untuk segala rencana anda di masa depan.

ü Karena ukuran Philips Tornado 40% lebih kecil, maka Philips Tornado lebih pas untuk segala rencana anda di masa depan.

4) Sekarang ada cara tepat untuk menjaga rumah Anda agar senantiasa penuh inspirasi

ü Sekarang ada cara tepat untuk menjaga rumah Anda agar senantiasa penuh inspirasi, yaitu dengan Philips Tornado.

Tampak dalam analisis tersebut terjadi peristiwa pelesapan kata cahaya (1), dengan Philips tornado (2), Philips tornado (3), dan yaitu dengan Philips Tornado (4). Pelesapan tersebut menyebabkan kalimat dalam wacana tersebut menjadi lebih efektif, efisien, dan wacananya menjadi padu (kohesif). Dengan adanya pelesapan tersebut, diharapkan pembaca termotivasi untuk lebih kreatif menemukan unsur-unsur yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa.

b. Perangkaian (konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur lain dalam wacana. Dalam wacana iklan Philips ditemukan adanya perangkaian atau konjungsi pada kutipan:

5) Karena ukuran 40% lebih kecil, maka lebih pas untuk segala rencana anda di masa depan.

6) Sekarang ada cara tepat untuk menjaga rumah anda agar senantiasa penuh inspirasi.

Konjungsi karena pada (5) berfungsi untuk menyatakan hubungan sebab-akibat atau hubungan kausal antara klausa ukuran 40% lebih kecil sebagai sebab, dengan klausa setelahnya yaitu maka lebih pas untuk segala rencana anda di masa depan sebagai akibat. Konjungsi agar pada (6) berfungsi menyatakan makna tujuan, yaitu dengan menggunakan Philips Tornado di rumah diharapkan supaya konsumen senantiasa penuh inspirasi.

2. Analisis Kohesi Leksikal

Analisis wacana iklan lampu Philips dari aspek kohesi leksikal hanya mencakup:

a. Repetisi (pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam, 2003: 34) dalam Sumarlam dkk (2004: 9). Repetisi yang terdapat pada iklan ini misalnya tampak pada kalimat:

7) Anda kini bebas menciptakan suasana penuh inspirasi di rumah.

8) Sekarang ada cara tepat untuk menjaga rumah anda agar senantiasa penuh inspirasi.

Repetisi pada dua kalimat di atas adalah repetisi epistrofa, yaitu pengulangan satuan lingual kata atau frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Walaupun frasa penuh inspirasi pada (7) terlihat tidak berada pada akhir kalimat, tetapi pada hakikatnya frasa penuh inspirasi berada pada akhir kalimat karena kata setelahnya merupakan kata keterangan yang dapat diubah-ubah posisinya, dapat di awal, tengah, maupun akhir, Pada iklan di atas frasa penuh inspirasi diulang dua kali untuk menekankan pentingnya frasa penuh inspirasi dalam konteks kalimat tersebut.

b. Sinonimi (padan kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1990: 85) dalam Sumarlam dkk (2004: 10). Dalam wacana iklan ini ditemukan sinonimi kata dengan frasa yang terlihat dalam kutipan:

9) Philips Tornado lebih terang 20% dari lampu hemat energi biasa.

10) Anda kini bebas menciptakan suasana penuh inspirasi di rumah.

11) Karena ukuran 40% lebih kecil, maka lebih pas untuk segala rencana di rumah.

12) Sekarang ada cara tepat untuk menjaga rumah anda agar senantiasa penuh inspirasi.

Dari contoh di atas, terlihat adanya sinonimi pada frase lebih terang 20% (9) dengan kata sense yang terdapat dalam logo iklan Philips tersebut. Frasa suasana penuh inspirasi (10) bersinonimi dengan kata simplicity yang terdapat dalam logo iklan Philips tersebut. Frasa ukuran 40% lebih kecil (11) bersinonimi dengan kata sense yang terdapat dalam logo iklan Philips tersebut, dan frasa senantiasa penuh inspirasi (12) bersinonimi dengan kata simplicity yang terdapat dalam logo iklan Philips tersebut.

B. Analisis Kohesi Kontekstual

Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana. Analisis kohesi kontekstual dalam iklan ini mencakup analisis konteks situasi, analisis sosial kultural iklan (pesan global yang disampaikan melalui iklan).

1. Analisis Konteks Situasi

Iklan Philips yang dimuat di Kompas, Selasa, 23 September 2008 menggunakan latar kertas yang berwarna cokelat muda pada setengah background iklan yang berada di sebelah kiri dikombinasikan dengan warna cokelat gelap di sebelah kanan yang merupakan penggambaran dinding pada iklan tersebut. Selain itu terdapat warna lain yaitu biru tua (warna baju bintang iklan), biru muda+putih (warna baju yang digenggam oleh bintang iklan), warna putih (warna tutup lampu Philips), biru muda (warna dasar logo dan background tulisan PHILIPS), hitam (warna teks dalam logo, judul iklan, warna teks iklan, dan bayangan wanita+bayi), hijau+biru (warna website produk Philips), hitam+biru (warna slogan Philips, yaitu PHILIPS sense and simplicity).

Ilustrasi iklan Philips berupa ibu muda yang sedang hamil yang duduk di atas sofa dengan mengangkat dan memandangi baju untuk calon bayinya. Posisi ibu muda yang sedang hamil tersebut berada di sebelah kiri (dinding yang berwarna cokelat muda). Warna cokelat muda tersebut digunakan untuk penggambaran masa sekarang yang ditandai dengan adanya lampu yang tentu saja merupakan lampu philips. Lampu Philips dapat dikatakan sebagai penggambaran masa sekarang karena cahaya yang dipancarkannya sangat terang. Sedangkan pada dinding bagian kanan (yang berwarna cokelat gelap) terdapat bayangan ibu hamil tersebut sedang mengangkat dan memandangi seorang bayi. Warna cokelat gelap yang ditandai dengan lilin tersebut digunakan untuk penggambaran masa mendatang. Penggambaran dari baju menjadi bayi disebabkan oleh cahaya terang yang dipancarkan oleh lampu Philips akan mampu membuat si ibu hamil bisa menyulam baju sesuai dengan ukuran bayi walaupun dalam keadaan malam.

Judul Iklan Philips ada di pojok kiri bawah dengan tulisan Simplicity berarti rumah terang penuh inspirasi (warna hitam tebal) dan berukuran paling besar diantara teks yang lain. Maksud dari judul tersebut adalah bahwa dengan cahaya terang Philips, diharapkan pemakai produk akan selalu berkarya walaupun itu di malam hari. Contoh dari iklan tersebut adalah ibu hamil tersebut bisa merajut baju walaupun dalam keadaan malam. Di bawah judul tersebut terdapat teks iklan. Agak jauh di bawah teks iklan terdapat nama sebuah website (ditulis dengan warna hijau dan biru) yang berisi keterangan mengenai lampu Philips tersebut. Penggunaan warna biru dan hijau dimaksudkan untuk membuat tulisan tersebut lebih menarik sehingga pembaca iklan akan tertarik untuk membuka websitenya dan dapat mengetahui informasi mengenai Philips yang terdapat dalam website tersebut dan pada akhirnya pembaca iklan akan membeli produk Philips.

Teks iklan terdiri atas empat kalimat. Keempat kalimat tersebut adalah tulisan Philips Tornado lebih terang 20% dari lampu hemat energi biasa. Anda kini bebas menciptakan suasana penuh inspirasi di rumah. Karena ukuran 40% lebih kecil, maka lebih pas untuk segala rencana anda di masa depan. Sekarang ada cara tepat untuk mejaga rumah anda agar senantiasa penuh inspirasi (warna hitam). Teks di bawah judul (teks iklan) tersebut ditulis dengan warna hitam tipis kecuali tulisan Philips Tornado ditulis dengan warna hitam tebal. Penulisan Philips Tornado dengan warna hitam tebal dimaksudkan untuk memberi penekanan bahwa yang diiklankan adalah berupa lampu, yaitu Philips Tornado.

Logo iklan berupa lampu yang berwarna kebiru-biruan, di dalamnya terdapat tulisan Philips dengan menggunakan huruf kapital. Penggunaan huruf kapital tersebut dipakai oleh penulis iklan untuk memperjelas adanya produk baru yang ditawarkan oleh Philips, yaitu Philips Tornado yang mempunyai model berbentuk spiral. Keuntungan produk layanan baru tersebut ditampilkan oleh penulis iklan pada kalimat 1, 2, 3, dan 4.


2. Analisis Sosial Kultural Iklan (Pesan Global Iklan)

Iklan adalah sebuah bentuk komunikasi yang khas. Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan oleh media, ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Gaw, 1961: 9) dalam Sumarlam dkk (2005: 179).

Di dalam pendekatan beriklan, Wiratno (1997: 1) dalam Sumarlam dkk (2005: 180) memperkenalkan 4 macam struktur, yaitu orientations, presentation, offer, justification. Orientatitons adalah tahap pengenalan produk; offer adalah tahap pembujukan kepada pembaca agar membeli atau menggunakan produk yang diiklankan; dan justification adalah tahap penilaian pengiklan bahwa produk yang ditawarkan benar-benar bagus dan bisa memenuhi harapan pembaca/pelanggan. Di samping itu, Wiratno (1997: 21) dalam Sumarlam (2005: 180) juga memperkenalkan 3 macam pendekatan dalam beriklan, yaitu (1) pioneering stage yaitu tahap pengenalan produk baru, (2) competitive stage yaitu tahap persuasif yang menggambarkan keunggulan-keunggulan produk yang diiklankan dibandingkan dengan produk lain; dan (3) tahap rentetive stage yaitu tahap pengingatan kepada konsumen bahwa produk yang ditawarkan masih lebih baik dibandingkan dengan produk-produk lain.

Berdasarkan teori tersebut, secara sosial kultural, iklan Philips berada pada tahap orientations dengan pendekatan competitive stage. Artinya, iklan tersebut berfungsi untuk mengiklankan produk baru dari Philips, yaitu Philips Tornado yang bentuknya seperti spiral dengan keunggulan-keunggulan yang lebih baik dari produk lain, yaitu dari segi terangnya cahaya yang dihasilkan maupun dari segi ukurannya yang kecil namun mampu menimbulkan inspirasi. Dengan harapan konsumen akan mengenal dan kemudian tertarik dengan produk baru dari Philips, yaitu Philips Tornado sehingga konsumen akan merasakan manfaat Philips dan mampu menciptakan inspirasi-inspirasi baru dalam hidupnya.

III. SIMPULAN

Berdasarkan analisis wacana menggunakan kajian kohesi tekstual dan kontekstual terhadap iklan Philips, dapat diambil suatu simpulan bahwa analisis kohesi tekstual terhadap iklan Philips terdiri dari analisis kohesi gramatikal dan leksikal. Analisis kohesi gramatikal terhadap iklan Philips mencakup pelesapan (elipsis) dan perangkaian (konjungsi). Pelesapan (elipsis) dalam iklan Philips pada umumnya dengan melesapkan frase Philip Tornado, sedangkan perangkaian (konjungsi) dalam iklan Philips menggunakan konjungsi karena dan biar.

Analisis kohesi leksikal terhadap iklan Philips mencakup repetisi (pengulangan) dan sinonimi (padan kata) yang berupa pengulangan frase penuh inspirasi dan padan kata sense dan simplicity pada kata lebih terang 20%, ukuran 40% lebih kecil, suasana penuh inspirasi, dan senantiasa penuh inspirasi.

Analisis kohesi Kontekstual terhadap iklan Philips mencakup analisis konteks situasi dan konteks sosial kultural iklan. Pada analisis konteks situasi, iklan Philips menggunakan latar warna cokelat muda dan cokelat gelap sebagai gambaran masa sekarang atau masa terang (ditandai dengan lampu) dan gambaran masa mendatang (ditandai dengan lilin). Pada konteks sosial kultural, iklan Philips menggunakan tahap orientations dengan pendekatan competitive stage.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 1990. “Linguistik Umum” dalam Analisis Wacana: Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Halaman 10. Bandung: Pakar Raya.

Anton Moeliono dkk. 1988. “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia” dalam Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Halaman 173. Surakarta: Pustaka Cakra.

Gaw, W.A. 1961. “Advertising: Method and Media” dalam Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Halaman 179. Surakarta: Pustaka Cakra.

Ratna Noviani. 2002. “Jalan Tengah Memahami Iklan” dalam Analisis Wacana: Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Halaman 1. Bandung: Pakar Raya.

Sumarlam dkk. 2004. Analisis Wacana: Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Bandung: Pakar Raya.

___________

. 2005. Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta: Pustaka Cakra.

Toffler, Alfin. 1987. “Kejutan Masa Depan” dalam Analisis Wacana: Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama. Halaman 1. Bandung: Pakar Raya.

Tri Wiratno. 1997. “Structuring The Diversity: The Ideology of Advertisement in Indonesian Printed Media” dalam Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Halaman 180. Surakarta: Pustaka Cakra.