Sabtu, 18 Oktober 2008

FENOMENA ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DI DESA TANGKISAN KECAMATAN MREBET KABUPATEN PURBALINGGA

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
DI DESA TANGKISAN KECAMATAN MREBET KABUPATEN PURBALINGGA

I. PENDAHULUAN
Bahasa merupakan lambang yang arbriter (mana suka), tetapi konvensional. Sehingga pada praktiknya, manusia dalam menggunakan bahasa selalu menyesuaikan diri sesuai dengan situasi yang ada. Situasi tersebut dapat berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Oleh karena itulah, dalam setiap komunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain selalu terjadi peristiwa pergantian bahasa yang disebut dengan alih kode dan pencampuran bahasa yang disebut dengan campur kode.
Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis pergantian bahasa (alih kode) dan pencampuran bahasa (campur kode) yang terjadi di lingkungan sekitar penulis, tepatnya di Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Alasan penulis mengambil contoh alih kode dan campur kode yang terjadi dalam masyarakat sekitar penulis karena alih kode dan campur kode tersebut akrab dengan penulis dan menarik untuk diteliti. Hal yang menarik dari alih kode dan campur kode yang terjadi di lingkungan penulis adalah beragamnya bahasa dan situasi yang mereka gunakan sehingga pada perkembangannya alih kode dan campur kode tersebut akan mempunyai keunikan tersendiri yang mungkin tidak kita dapatkan di daerah lain.

II. PEMBAHASAN
A. Alih Kode
Menurut Appel (1976: 79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 107), alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Perubahan situasi tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan.
Oleh karena itulah, fishman (1976: 15) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 108) mengatakan bahwa seorang pemakai bahasa itu harus memperhatikan situasi tutur yang berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Di bawah ini penulis akan mencontohkan beberapa percakapan yang terjadi dalam masyarakat di lingkungan sekitar penulis.
1. Alih Kode karena Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
Contohnya:
Latar belakang : kantor kecamatan Mrebet
Para pembicara : petugas pembuat KTP dan KK, Bapak Nanang (salah seorang yang ingin membuat KTP dan KK), Nafi’ dan Umi (orang yang sedang mengantri untuk membuat KTP dan KK).
Topik : syarat membuat KTP
Sebab alih kode : tidak ingin bahasa yang diucapkan diketahui maksudnya oleh orang lain.
Peristiwa tutur :
Petugas pembuat KTP dan KK : Pak, niki datane putra Bapak nopo nggih? Damel KTP-ne tahun 2009 mawon, niki umure kirang setahun.
(Pak, apa ini data putra Bapak? Membuat KTPnya tahun 2009 saja, ini umurnya kurang satu tahun).
Bapak Nanang : Nggih sampun (ya sudah).
Petugas pembuat KTP dan KK : Damel KTP-ne kangge keperluan nopo? (Membuat KTP untuk keperluan apa?)
Bapak Nanang : Nggih….sekalian damel supados mboten wira-wiri teng mriki (ya….sekalian buat supaya tidak bolak-balik ke sini).
Mendengar percakapan tersebut, Nafi’ dan Umi yang sedang mengantri untuk membuat KTP berkomentar, tetapi dengan menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak tahu dengan apa yang dibicarakan oleh keduanya.
Nafi’ : Um….it’s too early to make KTP
(Um….itu terlalu cepat untuk membuat KTP).
Umi : Maybe, his child wants to get married
(mungkin anaknya akan menikah).
Nafi’ : Doesn’t he know that making KTP someone’s age is about 17 years old?
(apakah bapak itu tidak tahu bahwa untuk membuat KTP umur seseorang kira-kira harus 17 tahun?)
Umi : I don’t know (saya tidak tahu).
Nafi’ : Luckily, the officer is very careful.
(untungnya, petugas itu sangat cermat)
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita ketahui bahwa alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi tersebut dimaksudkan supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak mengetahui kalau mereka sedang dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi sehingga mereka tidak tersinggung. Akan tetapi, jika Nafi’ dan Umi tidak menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris, mungkin petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang akan tersinggung karena mereka merasa dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi. Oleh karena itu, alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi adalah untuk memperoleh “keuntungan” atau “manfaat”.


2. Alih Kode karena Pendengar atau Lawan Tutur
Pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Hal ini terjadi karena si penutur ingin menghormati lawan tuturnya. Dalam hal ini lawan tutur merupakan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati oleh si penutur.
Misalnya:
Latar belakang : depan TV di rumah eyang.
Para pembicara : Nilna, Nana, dan eyang.
Topik : acara TV yang berjudul “Marimar”
Sebab alih kode : menghormati orang yang lebih tua (eyang)
Peristiwa tutur :
Nilna : donge Sergio teli aja mabok-mabokan Angger mabok-mabokan kan dadine ora sadar. Masa, Inosensia diambung ndarani Marimar? (seharusnya Sergio tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk-mabukan kan menjadi tidak sadar. Inosensia dicium karena disangka Marimar).
Nilna : lah….kuwe kan wis diatur neng sutradarane. Nggo ngapa pusing-pusing! (itu kan sudah diatur oleh sutradaranya. Untuk apa pusing-pusing!).
Nilna : wadeh, deh ! ya wis lah……..mengko manden rampunge bahagia (sebel, deh ! ya sudah lah…..nanti juga pasti berakhir dengan bahagia).
Eyang : ana apa sih, berisik banget? (ada apa sih, kok berisik?)
Nilna : niki yang, film Marimar (ini nek, film Marimar)
Eyang : film Indonesia apa?
Nana : sanes yang, niki film Filipina (bukan nek, ini film Filipina).
Eyang : deneng rame temen? (kok ramai banget?)
Nana : Nggih yang, ceritane sae sanget! (iya nek, ceritanya bagus sekali).


Berdasarkan ilustrasi di atas, Nilna dan Nana beralih kode menggunakan bahasa kromo karena menghormati orang yang lebih tua (neneknya). Jika mereka tetap menggunakan bahasa ngoko, pasti mereka akan dicap sebagai anak yang tidak bisa menghormati orang yang lebih tua.
3. Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak tahu bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya:
Latar belakang : ruang tamu
Para pembicara : Umi dan Niam yang sejak kecil hidup di wilayah karesidenan Banyumas, dan Susmiati yang sejak kecil hidup di Jakarta sehingga dia tidak dapat berbahasa Jawa Banyumasan.
Topik : Objek wisata Ancol
Sebab alih kode : hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang tidak bisa berbahasa Jawa Banyumasan karena sejak kecil hidup di Jakarta.
Peristiwa tutur :
Umi : Am, Ancol apik banget ya! (Am, Ancol bagus sekali ya!)
Ko wis tau maring nganah urung? (kamu sudah pernah ke sana belum?
Niam : urung (belum).
Apa ko wis pernah maring nganah? (apa kamu sudah pernah ke sana?)
Umi : Urung sih, aku cuma weruh neng TV karo diceritani Susmiati (belum sih, aku hanya melihat di TV dan mendapat cerita dari Susmiati).
Niam : aku dadine ya, pengin diceritani (aku juga ingin mendapat cerita itu).
Umi : La kae, Susmiati (Itu Susmiati)
Niam : Hai, Sus. Mau kemana? Aku minta diceritain tentang Ancol dong?
Susmiati : iya beres. Tapi kapan-kapan saja yah! Soalnya aku lagi ada keperluan nich.
Niam : oke deh.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa alih kode terjadi pada saat hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang memang sejak kecil sudah hidup di Jakarta sehingga dia tidak bisa bahasa Jawa Banyumasan. Jika Umi dan Niam tidak beralih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia, mungkin komunikasi dengan Susmiati tidak akan berjalan lancar karena dia tidak paham dengan bahasa yang digunakan oleh Umi dan Niam.
4. Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya.
Contoh:
Latar belakang : rumah ketua RT 02/01 desa Tangkisan.
Para pembicara : Hasbi (Ketua Ikatan Remaja), Kusniah (Sekretaris Ikatan Remaja), Ahmad, Dedi, dan Dina (Bendahara Ikatan Remaja).
Topik : rapat penyelenggaraan pengajian halal bihalal.
Sebab alih kode : hal-hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang serius.
Peristiwa tutur :
Sebelum pengurus ikatan remaja yang lain datang, Kusniah dan Hasbi bercakap-cakap mengenai masalah pribadi dengan ragam informal.
Kusniah : Bi, jere ko seneng karo batir sekolahe ko ya?
(Bi, katanya kamu naksir teman sekolahmu ya?)
Hasbi : Jere sapa? (kata siapa?)
Kusniah : ya pokoke.
Setelah pembicaraan itu, datang Ahmad, Dedi, dan Dina. Pembicaraan antara Kusniah dan Hasbi pun berhenti dan berganti ke ragam formal.


Hasbi : wah….teman-teman sudah datang, ayo kita mulai diskusinya.
Ahmad : ngomong-ngomong, sebentar lagi kan lebaran, kita seharusnya memfasilitasi para pemuda untuk bersilaturrahim supaya terjalin suasana kekeluargaan.
Dedi : betul, saya setuju. Bagaimana kalau kita mengadakan pengajian halal bihalal saja?
Kusniah : itu ide bagus. Aku setuju sekali.
Hasbi : tapi dari mana kita memperoleh dananya?
Dina : mudah saja, kita bisa menarik iuran dari semua warga.
Hasbi : betul, aku setuju. Kapan kita mulai beraksi?
Kusniah : besok saja kita mulai menyusun proposal kegiatannya. Semakin cepat semakin baik.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa sebelum diskusi dimulai, situasinya adalah tidak formal; tetapi begitu diskusi dimulai situasi berubah menjadi formal, maka terjadilah peralihan kode yang awalnya dari bahasa ngoko Banyumasan lalu berubah menjadi bahasa Indonesia ragam formal.
5. Perubahan Topik Pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat kita lihat pula pada contoh nomor 4. Dari ilustrasi contoh nomor 4 di atas, dapat kita lihat ketika topiknya tentang masalah pribadi, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Jawa Banyumasan. Tetapi ketika topiknya bergeser pada diskusi tentang rencana penyelenggaraan pengajian halal bihalal, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia.
B. Campur Kode
Bahasa dikatakan telah tercampur dengan kode lain apabila dalam peristiwa tutur itu hanya terdapat serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114). Sehubungan dengan hal tersebut, Thelander (1976: 103) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) juga menjelaskan bahwa campur kode terjadi apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa mapun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tiada lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri.
Selain itu, Fasold (1984) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) berpendapat bahwa seseorang dikatakan telah melakukan campur kode jika dia menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa. Perhatikan contoh di bawah ini.
Di sebuah ruang tamu, tepatnya di depan TV ada Tito (yang sejak SMA sampai kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris) dan Andi melakukan sebuah percakapan. Mereka berdebat masalah keterlambatan mengerjakan tugas.
Tito : donge ko angger ngerjakna tugas li aja mepet-mepet supaya hasile ya apik. Jere kepengin dadi ‘a good writer’.
(seharusnya kamu kalau mengerjakan tugas itu tidak mendadak supaya hasilnya juga bagus. Katanya kamu ingin menjadi ‘a good writer’).
Andi : Iya sih, tapi kepriwe maning. Idene nembe muncul angger lagi kepepet.
(iya sih, tapi bagaimana lagi. Ide baru muncul kalau lagi terjepit).
Tito : iya, tapi diusahakna lah…
Angger ko pusing kan aku dadi kena batune juga
(iya, tapi diusahakanlah……kalau kamu pusing kan aku jadi terkena imbasnya juga).
Berdasarkan percakapan di atas, tampak bahwa Tito telah melakukan campur kode yang terlihat pada frase ‘a good writer’. Campur kode di atas dilakukan oleh Tito karena dia sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris sehingga secara sadar maupun tidak sadar, bahasa Inggris itu akan selalu terbawa ke dalam bahasa yang dia pakai.



III. SIMPULAN
Alih kode dan campur kode pada dasarnya sama-sama merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual. Alih kode terjadi karena adanya pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Alih kode selalu digunakan oleh seseorang berdasarkan situasi tutur “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Sedangkan campur kode terjadi karena seseorang memakai satu kata atau satu frase dari satu bahasa. Campur kode biasanya digunakan karena kebiasaan si penutur dalam memakai bahasa tertentu yang secara sadar maupun tidak sadar akan masuk ke dalam bahasa yang dia pakai.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosioliinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tidak ada komentar: